UN dan Pemerataan Pendidikan

SEBELUMNYA, kabar tentang peniadaan Ujian Nasional (UN) 2017 seperti disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendy pada November 2016 lalu sempat membuat publik gembira. Banyak media yang menjadikan kabar tersebut sebagai headline. Namun, sebelum wacana tersebut terealisasikan, keputusan itu akhirnya terpaksa dibatalkan karena Pemerintah tidak menyetujui UN dimoratorium (dihentikan sementara). Publik (terutama siswa) pun kembali kecewa. Rasa sukacita atas peniadaan UN pun hanya berlangsung sesaat. Keputusan tak berubah. UN tetap dilaksanakan pada 2017, seperti sedang berlansung saat ini.

UN dan Pemerataan Pendidikan


Rutinitas tahunan persiapan UN pun harus kembali berjalan seperti biasa. Persiapan UN layaknya orang yang akan perperang. Doa bersama digelar. Yasinan dimana-mana. Kepala dinas pendidikan sibuk menginstruksikan kepala sekolah agar bisa memastikan siswa bisa lulus 100 persen. Kepala sekolah pun memanggil para guru guna rapat mengatur strategi. Jam belajar di sekolah di tambah. Lembaga-lembaga bimbingan belajar banjir peserta. Siswa belajar siang malam seperti kesurupan. Sesama siswa saling berusaha menguatkan. Berpelukan. Bertangisan. Seolah UN adalah penentu hidup mati. Tidak ada yang salah dengan semua usaha dan doa. Tetapi itu menyiratkan bahwa UN sebegitu menakutkan.

Realitas ketimpangan

Kita paham, bahwa UN dilaksanakan dengan tujuan baik. Diantaranya agar siswa punya semangat belajar tinggi, mendorong penguasaan kompetensi, dapat dipakai sebagai acuan antar provinsi, dan juga menjadi standar acuan pendidikan nasional. Namun sayang, praktik yang terjadi di lapangan masih jauh dari harapan. Sudah jadi rahasia umum, UN adalah adalah satu moment terjadinya praktik kecurangan massal. Jika ada siswa yang tidak ingin berlaku curang, maka ia akan terancam dikucilkan dan dibilang sok suci. Maka ketika UN ingin dipakai sebagai acuan antar provinsi, perbandingan menjadi kurang bermakna ketika kecurangan terjadi. Begitu juga dengan penguasaan kompetensi. Alih-alih menumbuhkan semangat belajar, siswa dan guru malah mementingkan nilai. Akhirnya, guru mengajar hanya untuk tes dan siswa belajar hanya untuk lulus tes.

UN pun seolah berubah bentuk menjadi stres tahunan yang terencana. Jarang kita jumpai siswa yang menyambut UN dengan bahagia. Banyak yang merasa tertekan, lalu mengiringinya dengan doa dan yasinan. Saya percaya, pendidikan bukanlah panci penekanan. Sedikit kelegaan muncul ketika pada 2015 Kemendikbud menetapkan bahwa UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan, tapi juga ikut ditentukan oleh sekolah. Dan harapan itu semakin berbunga ketika Oktober 2016 lalu Kemendikbud sempat memutuskan untuk menghapus UN, walau akhirnya terpaksa dibatalkan karena tidak disetujui pemerintah.

Namun permasalahan pendidikan Indonesia sebenarnya tidak terletak pada UN, tapi soal pemerataan. Ada kesenjangan signifikan antara sekolah di desa dengan perkotaan. Mulai dari kualitas guru, perlengkapan seperti laboratorium dan perpustakaan, infrastruktur, juga akses pendidikan. Kuantitas dan kualitas guru misalnya, di pedesaan satu guru bisa merangkap dan harus menguasai lima mata pelajaran. Beda dengan sekolah di kota, satu pelajaran ada lima guru, bahkan mungkin lebih. Jika di perkotaan guru dibayar jutaan rupiah, maka guru di desa yang kebanyakan tenaga honorer harus berpuas hati dengan hanya dibayar Rp 300 ribu per bulan. Tetapi mereka juga dituntut mempunyai tanggungjawab yang sama untuk bisa mencerdaskan anak bangsa seperti mereka yang dikota.
Begitu juga ketika menyinggung perlengkapan pendidikan. 

Di sekolah pedesaan dan pedalaman, siswa tidak mengenal kotak empat persegi bernama komputer. Bahkan sebagian sekolah, perpustakaan saja tidak punya. Buku menjadi barang langka. Seorang siswa harus menunggu antrian panjang untuk bisa membaca satu buku secara bergiliran. Begitu juga dalam fasilitas gedung sekolah dan meja belajar. Masih ada sekolah yang beratap daun rumbia dan berlantaikan tanah serta meja belajar tua yang tak diganti-ganti. Sekolah tersebut dibangun dengan gotong-royong warga karena tidak ingin anak-anak ikut jejak orangtuanya yang tak pandai membaca. Maka tidak perlu heran jika sekolah di Pulau Belitung di film Laskar Pelangi adalah realitas nyata dari Aceh sampai Papua. Jarang ditemukan murid yang berseragam, memakai sepatu, apalagi yang wangi. Kita harus terbiasa dengan pemandangan murid yang berseragam aneka warna dan tanpa alas kaki.

Perlu pemerataan

Melihat kesenjangan tersebut, maka ketika kita ingin bicara pendidikan Indonesia, berarti bicara Indonesia dari Aceh sampai Papua. Tidak mungkin tanpa melibatkan keduanya. Saya percaya, siswa yang sekolah di pedalaman bukan tidak pintar, hanya saja tidak punya kesempatan yang sama dengan mereka yang di kota. Bukti menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang berprestasi bahkan sampai level internasional. Pada 2011, anak-anak SD dari Papua berhasil menorehkan prestasi dalam ajang Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School. Mereka berhasil mempersembahkan empat emas, lima perak, dan tiga perunggu. Pada tahun yang sama, Siti Fatimah yang berasal dari Sampang, Madura, juga berhasil menyabet juara pertama Olimpiade Sains Nasional (OSN) di Manado.

Jika hari ini ketidakadilan pendidikan sering didengungkan, maka pemerataan kualitas pendidikan menjadi poin penting untuk menyelesaikan akar permasalahan. Mulai dari kualitas guru, perlengkapan, infrastruktur, hingga akses pendidikan. Tidak perlu semua harus jadi sekolah bertaraf internasional ataupun sekolah favorit, tapi setidaknya meminimalkan tingkat kesenjangan. Seperti pemerataan kuantitas dan kualitas guru antara pedesaan dan perkotaan. Termasuk mempertimbangkan kesejahteraan guru di pedalaman dengan menaikkan gajinya yang lebih sepadan. Begitu juga dengan infrastruktur dan akses pendidikan. Tidak semua hal perlu setara, tapi pemerataan harus dilakukan untuk keadilan pendidikan. Memang tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang, tapi semua itu bukan mustahil untuk dilakukan.

Dari itu, publik mengapresiasi upaya Kemendikbud yang hingga 2015 telah merehabilitasi sekitar 13.403 ruang belajar, membangun 698 Unist Sekolah Baru (USB), dan 12.385 Ruang Kelas Baru (RKB). Begitu juga upaya mewujudkan pendidikan dari daerah pinggiran yang di tahun 2016 Kemendikbud telah membangun 114 Sekolah Garis Depan (SGD) di berbagai daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Hal tersebut diperkuat dengan menugaskan 7.000 Guru Garis Depan (GGD) untuk memberikan pelayanan pendidikan yang lebih baik, meningkat sepuluh kali lipat dari tahun sebelumnya sebanyak 797 guru (kemdikbud.go.id).

Upaya pemerataan tersebut adalah awal langkah bagus, tapi tentu saja tidak boleh dicukupkan sampai di titik tersebut. Karena masih ada sekolah di luar sana yang belum tersentuh perbaikan infrastruktur maupun akses pendidikan. Inilah tanggungjawab kita bersama. Tentu saja kita tidak ingin anggaran sebesar Rp 39,82 triliun untuk Kemendikbud dari total dana pendidikan nasional 2017 yang mencapai Rp 416,1 triliun tersebut, tidak teralokasikan dengan baik dan merata. Dari itu saya percaya, gelap-cerahnya masa depan pendidikan Indonesia juga ikut ditentukan ketika banyak orang bersedia mengambil bagian.

* Asmaul Husna, mahasiswi pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dan pegiat di Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU). Email: hasmaul64@yahoo.com