SUDUT PENDIDIKAN | AKHIR-akhir ini, permasalahan keberagamaan yang dikaitkan dengan keberagaman mendapat banyak sorotan dan perhatian pelbagai pihak.
Ulah segelintir oknum atau sekelompok kecil masyarakat yang mengatasnamakan salah satu agama tertentu terkadang berimbas luas terhadap kondisi keberagamaan yang tenang, toleran, dan berdampingan.
Ketika hal ini terjadi maka sebutan kata-kata intoleransi, radikalisme, fundamentalisme dan semacamnya sering mengemuka menjadi wacana publik. Intoleransi, radikalisme, dan fundamentalisme keberagamaan di tengah-tengah masyarakat yang beragam terus menjadi tantangan yang menguji keutuhan dan persatuan bangsa, bahkan merembet mengarah kepada penggerusan nilai-nilai kebangsaan.
Di samping pemahaman keberagamaan yang dangkal, penyebaran informasi hoax (hocus) yang bertubi-tubi di beberapa media secara terus-menerus bisa menjadi provokasi yang memancing perpecahan keberagamaan dan keberagaman.
Tidak hanya antaragama saling curiga, interagama pun satu sama lainnya bisa menimbulkan pelbagai gejolak hingga konflik yang tidak dapat dihindari.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan pelbagai perbedaan agama, kultur, bahasa, maupun ras yang disatukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perbedaan itu mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya, beragam, pluralistik. Tindakan apa pun yang menciderai ketenangan masyarakat, apalagi atas nama agama sesungguhnya adalah tindakan yang memiskinkan dan mengingkari kodrat keberagaman.
Dalam skala yang masif, jika hal ini disepelekan akan merongrong tegaknya NKRI. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis harus terus diupayakan semaksimal mungkin untuk menjaga, merawat ataupun meneguhkan keberagamaan dan kebinekaan dengan mengukuhkan pilar-pilar keberagaman.
Keterlibatan pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah dalam menjaga dan mengukuhkan pilar-pilar keberagamaan adalah sangat signifikan. Sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8/2006, yang menegaskan bahwa gubernur mempunyai tugas memelihara ketertiban dan ketenteraman serta memfasilitasi kerukunan umat beragama; mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal terkait keagamaan untuk menjaga kerukunan umat beragama di daerah; menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan memfasilitasi dan mengoordinasikan pemerintah daerah di bawahnya untuk menjaga harmoni dan menciptakan iklim saling menghargai dan menghormati antarumat beragama.
Membudayakan pemahaman tentang keberagaman harus intens di lembaga-lembaga pendidikan sejak pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi dalam rangkap menumbuhkan semangat nasionalisme, inklusif, moderat, dan toleransi bagi seluruh masyarakat.
Pemahaman terhadap empat variabel penting tersebut bahkan tidak hanya dilaksanakan pada satuan-satuan pendidikan, tetapi juga harus mewarnai semua bidang studi terutama bidang studi yang menjadi penopang pendidikan karakter. Salah satu bidang studi yang harus memperkukuh empat pilar keberagaman tersebut adalah bidang studi Pendidikan Agama Islam.
Bidang studi Pendidikan Agama Islam merupakan bidang studi yang mengampu tugas dan tanggung jawab dalam pembentukan karakter beragama para peserta didik.
Karakter beragama yang tertanam dan terbentuk melalui pemberian Pendidikan Agama Islam sangat memengaruhi cara bersikap dan berpikir peserta didik terhadap segala bentuk dalam kehidupan beragama, baik secara vertikal maupun horizontal.
Oleh karena itu, sangat penting bagi bidang studi Pendidikan Agama Islam untuk menanamkan pilar-pilar penting ini, yakni Nasionalisme, Toleransi, Moderat, dan Inklusivisme dalam kehidupan beragama.
Menanamkan Nasionalisme
Secara terminologis, nasionalisme bisa jadi merupakan produk baru peradaban modern. Namun hal ini tak berarti Islam bertentangan dengan nilai-nilai nasionalisme.
Karena secara substansial, nasionalisme adalah kecintaan seseorang terhadap negara sebagai tumpah darahnya. Sebagaimana pula yang disampaikan oleh ulama, cinta terhadap tanah air merupakan bagian dari keimanan (hubbu wathan minal iman). Nabi Muhammad SAW sendiri telah mencontohkan dalam Piagam Madinah (miytsaqul madinah) mengenai wujud nyata sikap cinta tanah air.
Nabi Muhammad SAW menyebut seluruh penduduk Madinah (baik yang beragama Islam, Kristen, maupun Yahudi), sebagai satu bangsa (ummah wahidah) dan mewajibkan mereka membela Madinah, terutama dari ancaman-ancaman pihak luar.
Kedua hal di atas menjadi dasar penguatan bahwa bidang studi Pendidikan Agama Islam mempunyai tanggung jawab menanamkan nilai nasionalisme kepada para peserta didik.
Diharapkan dengan penanaman tersebut, peserta didik memiliki cara berkehidupan beragama yang menjunjung tinggi sikap nasionalisme.
Mengembangkan Nilai-Nilai Toleransi
Islam hampir tidak pernah lepas dari toleransi. Pada masa tertentu Islam tampil sebagai sosok yang menoleransi (fa’ilu at-tasamuh), sedangkan pada masa yang lain Islam tampil sebagai pihak yang ditoleransi (maf’ulu at-tasamuh).
Bidang studi Pendidikan Agama Islam harus mengenalkan adanya beragamnya pandangan dalam berbagai aspek berkehidupan beragama. Sebagai contoh, bidang studi Pendidikan Agama Islam harus mengenalkan bahwa di dalam Islam sendiri terdapat mazhab-mazhab fikih di mana para ulamanya mengajukan pandangan hukum yang berbeda dalam fikih Islam.
Perbedaan dalam kehidupan beragama juga terdapat pada beragamnya agama-agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia.
Selain mengenalkan adanya keberagaman dalam berkehidupan beragama, bidang studi Pendidikan Agama Islam juga harus mengajarkan bahwa cara menyikapi keberagaman pandangan dan keyakinan tersebut bukanlah dengan menghujat pandangan dan keyakinan yang berbeda, melainkan dengan cara menunjukkan sikap toleransi dengan tidak memaksakan pemahamannya terhadap orang lain dan tidak merasa pendapat dan keyakinannya ialah yang paling benar.
Mengukuhkan Sikap Moderat
Ada salah satu prinsip yang sangat terkenal di kalangan akademisi muslim, yakni khairul umur awsatuha (sikap terbaik dalam segala hal adalah moderatisme). Prinsip ini tidak hanya berlaku di dalam konteks hukum fikih, tetapi juga telah menjadi semangat utama di balik hampir seluruh disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam.
Bidang studi Pendidikan Agama Islam harus memuat pengajaran-pengajaran yang merujuk pada sikap moderat. Tidak ada paham-paham radikal dan fundamental yang diajarkan dalam bidang studi Pendidikan Agama Islam.
Untuk mengukuhkan sikap moderat, bidang studi Pendidikan Agama Islam memuat ajaran bahwa ketentuan-ketentuan hukum Islam berada di posisi tengah; antara prinsip kasih yang sampai pada tahap mengampuni para penjahat dan prinsip kejam yang sampai pada tahap tidak mengenal ampunan.
Sebagai contoh, dalam ketentuan hukum Islam korban kejahatan dapat membalas kejahatan yang dilakukan secara setimpal (qishas), tetapi akan lebih baik bila yang bersangkutan memberi ampunan (wa an ta’fu khairun lakum). Prinsip moderatisme seperti di atas harus senantiasa diajarkan dan dikukuhkan oleh bidang studi Pendidikan Agama Islam untuk mencegah masuknya paham radikal dan fundamental dalam pola pikir dan pola sikap peserta didik.
Menerapkan Inklusivisme
Islam adalah inklusif, terbuka terhadap nilai-nilai, budaya dan peradaban sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, menjaga eksistensi Islam bukan berarti menutup diri untuk berinteraksi dengan peradaban lain. Peradaban Islam adalah peradaban yang dinamis dan aktif, tidak eksklusif dan menutup diri dari budaya dan peradaban lain.
Islam sangat memperhatikan inklusivisme sebagai prinsip kehidupan yang sarat dengan perbedaan dan kemajemukan. Itu sebabnya ajaran Islam bersifat universal yang terbuka kepada seluruh umat manusia.
Sehingga syariat Islam yang berwajah inklusif dapat diterima oleh semua kalangan dan memberi rahmat bagi seluruh isi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Sikap inklusif inilah yang diterapkan dan ditanamkan melalui bidang studi Pendidikan Agama Islam di dalam dunia pendidikan. Selain itu, bidang studi Pendidikan Agama Islam harus menanamkan pula prinsip al muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yakni menjaga dan melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengakomodasi sesuatu yang baru yang lebih baik. Adagium ini ditanamkan oleh bidang studi Pendidikan Agama Islam dalam prinsip tawazun, tasamuh, dan tawasuth. /SINDO: IMAM SAFEI -Direktur PAI Ditjen Pendis Kementerian Agama RI