Hakekat Pembelajaran PAI

Hakekat Pembelajaran PAI

Pendidikan agama Islam adalah disiplin ilmu pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam, yang teori dan konsep digali dan dikembangkan melalui pemikiran dan penelitian ilmiyah berdasarkan tuntutan dan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah. Al- Syaibani memperluas lagi dasar tersebut mencakup ijtihad, pendapat, peninggalan, keputusan-keputusan dan amalan-amalan para ulama terdahulu (as-Shalaf al-Shaleh) di kalangan umat Islam. Jadi semua perangkat pendidikan Islam harus ditegakkan di atas ajaran Islam.

Pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi, berbeda dengan konsep pendidikan barat yang hanya untuk kepentingan dunia semata. Islam sebagai agama yang universal berisi ajaran-ajaran yang dapat membimbing manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Karena itu ayat pertama turun surat al- Alaq/96 ayat 1-5: memerintahkan manusia untuk mencari ilmu pengetahuan.

Pendidikan Islam tidak mengenal pemisahan antara sains dengan agama, dan juga prinsipnya seimbang antara dunia dan akhirat. Pendidikan seperti inilah yang perlu diwariskan kepada generasi Islam, sehingga umat Islam mendapat tempat terhormat di dunia dengan ilmunya, dan juga di akhirat juga dengan ilmunya.
Read More
Tujuan Pembelajaran PAI

Tujuan Pembelajaran PAI

Tujuan pendidikan merupakan seperangkat hasil yang harus di capai oleh peserta didik setelah mengikuti pembelajaran. Rangkaian kegiatan pendidikan yang diikuti melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan, kesemuanya diarahkan untuk tercapainya tujuan pendidikan. Pendidikan diselenggarakan tentu saja memiliki tujuan yang ingin dicapai terhadap peserta didik, demikian pula pembelajaran PAI memiliki tujuan spesifik.

Secara umum, tujuan pendidikan nasional yang hendak dicapai, sebagaimana tersebut dalam Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang sistim pendidikan Nasional, dirumuskan sebagai berikut: 
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adapun secara khusus tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada dua tujuan pokok pendidikan Islam yaitu; (1) untuk mencapai kesempurnaan manusia dalam mendekatkan diri kepada Tuhan; dan (2) untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia dalam menjalin hidup dan penghidupan guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam mempunyai dua tujuan pokok, pertama; tujuan keagamaan yaitu beramal sesuai dengan tuntutan agama, kedua; tujuan ilmiyah sebagai bekal hidup untuk mengarungi penghidupannya di dunia ini. 

Dapat disimpulkan bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk membentuk insan kamil atau manusia sempurna yakni dapat berperan sebagai hamba Allah yang benar dan juga sebagai khalifah Allah di bumi yang mampu memakmurkan bumi bagi kehidupan manusia dan rahmat bagi alam sekitarnya.

Dalam Undang-undang pendidikan Nasional secara jelas telah dinyatakan bahwa pendidikan membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa. Demikian pula dengan tujuan yang hendak di capai dalam pendidikan Islam yaitu menciptakan insan kamil. Dengan mengacu pada yuridis di atas, maka tugas guru adalah bagaimana dapat mewujudkan cita-cita Nasional dan juga yang lebih utama cita-cita Islam, sesuai dengan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang telah diataur oleh pemerintah.
Read More
Kewajiban Orang Hidup Terhadap Jenazah

Kewajiban Orang Hidup Terhadap Jenazah

Bila terdapat salah seorang muslim yang meninggal dunia, maka bagi muslim yang lain dianjurkan bahkan wajib kifayah untuk melakukan beberapa hal bagi janazah, sedikitnya ada empat kewajiban terhadap janazah yaitu memandikan, mengafani, menyalati dan menguburkannya. Dalam tulisan ini akan dibahas kaifiyat secara sederhana menurut pandangan Islam, lepas dari sunat-sunatnya yang sangat bervariasi.

kewajiban-muslim

Memandikan Janazah

Jenazah orang muslim wajib dimandikan kecuali janazah orang yang mati syahid. Untuk kesempurnaan memandikan janazah perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini:
  1. Jenazah dimandikan ditempat yang sunyi, hanya boleh hadir keluarga atau petugas pemandian, menghindari jangan sampai terlihat aurat mayat.
  2. Lebih baik yang melakukan fardhu kifayah adalah keluarga termasuk memandikan demi untuk menjaga rahasia mayat.
  3. Jenazah diletakkan di tempat yang tinggi, agar dapat mengalir air bekas mandi mayat.
  4. Jenazah dimandikan dalam pakaian gamis atau ditutup dengan kain.
  5. Dengan air yang suci dan lebih baik air dingin.

Cara memandikannya sebagai berikut:
  • Dengan jumlah ganjil, tiga kali atau lima kali dan seterusnya.
  • Pertama dengan air yang biasa, serta dipoles dengan sabun, seterusnya disiram dengan air yang bersih.
  • Kemudian dengan air wangi-wangian yang telah bercampur dengan kapur barus dan sebaginya.
  • Memandikan dimulai dari sebelah kanan, dengan ketentuan mayat laki-laki oleh laki-laki, mayat perempuan yang memandikan adalah perempuan.

Mengafani Jenazah

Setelah selesai mayat dimandikan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengafanan terhadap Si mayat dengan cara sebagai berikut:
  1. Sebelum dikafani semua peralatan dan bahannya telah dipersiapkan sebelumnya.
  2. Kain kafan dan semua pembiayaan diambil dari harta si mayat jika ia meninggalkan harta, kalau tidak memiliki harta, maka wajib atas orang yang wajib memberi belanjanya ketika ia hidup. Jika juga tidak ada maka boleh diambil pada Baitul Mal (rumah zakat negara) atau dari kaum muslimin yang mampu.
  3. Kain kafan menutupi seluruh tubuh mayat, dan sebaiknya dengan kain yang putih, minimal tiga lembar.
  4. Di atas kain kafan telah dipersiapkan wangi-wangian dan kemenyan serta kapas. Inti dari mengafani mayat adalah menutup seluruh tubuhnya, selain itu adalah sunat.
  5. Menghindari dari sifat berfoya-foya dalam mengafankan si mayat, artinya ang wajar-wajar saja tidak berlebihan.

Menshalati Jenazah

Menshalati jenazah muslim hukumnya fardhu kifayah, baik laki-laki maupun perempuan. Pelaksanaan shalat jenazah sebagai berikut:
  1. Shalat jenazah terdiri dari empat takbir, pada takbir pertama dibaca Al-Fatihah, takbir kedua selawat kepada Nabi dan takbir ketiga dan empat di baca do’a bagi si mayat.
  2. Untuk mayat laki-laki dibaca “allahummaghfirlahu… dst, ( ه) sedangkan bagi wanita diganti dengan ( ھا ) dan seterusnya sampai akhir.
  3. Shalat jenazah lebih baik berjamaah dengan ketentuan imam sama seperti shalat fardhu. Perempuan boleh imam sesama perempuan.

Menguburkan Jenazah

Dalam penguburan jenazah terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan kuburnya dibuat lahat atau boleh juga juga dibaringkan dalam keranda. Inti dari penguburan jenazah adalah mayat cepat menyatu dengan tanah. Maka dilarang membuat keranda atau peti mati secara berlebihan, apalagi mempersiapkan kuburan terlebih dahulu sangat dilarang dalam agama. 

Ketentuan penguburan jenazah sebagai berikut:
  1. Kuburan perempuan lebih dalam dari pada kuburan laki-laki.
  2. Kedalaman kuburan laki-laki minimal sejajar dada orang dewasa, yang penting jauh dari ciuman binatang buas.
  3. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, sebaiknya keluarga mayat lebih berhak melakukannya terhadap empat pelaksanaan atas mayat.
  4. Setelah penguburan selesai sunat melakukan peninggian kuburan, memberikan batasan seperti batu nisan, menyirami dengan air bunga serta sebelum pulang keluarga berdoa untuk mayat lebih utama dari pada orang lain.
Read More
Apa penyebab mutu pendidikan di indonesia dari dulu hingga sekarang tidak merata

Apa penyebab mutu pendidikan di indonesia dari dulu hingga sekarang tidak merata

Mungkin lewat berbagai media sedikit banyak anda sudah mengerti seperti apa corak pendidikan, yakni tidak kunjung selasai permasalah dari dulu hingga sekarang, mulai dari kurikulum yang sering gonta ganti, biaya pendidikan yang mahal, sampai pembangunan infrastruktur yang terfocus di pusat saja (kota kota besar). Bila anda bertanya apa penyebabnya hal tersebut bisa terjadi dan tidak kunjung selesai, jawabannya cukup beragam kalau boleh saya simpulkan tidak lepas dari kepentingan politik penguasa. Apabila pembangunan infrastruktur pendidikan hanya difocuskan dikota kota besar maka daerah terpencil akan sulit sertamemiliki mutu dan kualitas rendah yang membuat mereka sulit untuk bersaing dengan yang lain.

Dampak lain yang ditimbulkan atas tidak meretanya mutu pendididkan diindonesia ialah tingkat kelulusan setiap daerah sangat berpengaruh. Sebenarnya apa yang menyebabkan mutu pendidikan dinegeri kitai ini belum sepenuhnya mereta? dibawah saya akan coba menjabarkan secara singkat  penyebab mutu pendidikan di indonesia belum merata.

Apa penyebab mutu pendidikan di indonesia dari dulu hingga sekarang tidak merata


Apa penyebab mutu pendidikan di indonesia dari dulu hingga sekarang tidak merata

Pembangunan terfocus di kota kota besar

Sorotan media tidak pernah berakhir tentang pembangunan yang terfokus di daerah jakarta mulai dari sektor perdagangan, pembangunan fasilitas umum, sampai kepada infrastruktur sekolah. Gedung gedung sekolah cukup bagus membuat para tenaga pengajar malas keluar daerah untuk mengabdikan diri dengan berbagai alasan terutama di infrastruktur yang minim.

Rendahnya mutu Guru


Mutu atau kualitas seorang pengajar sangat menentukan kualitas seorang murdi. Bila didaerah mewajibkan seorang untuk menjadi tenaga pengajar minimal Diploma I, Sementara dikota kota besar untuk guru honorer yang ingin mengabdikan diri untuk mengajar harus memiliki titel pendidikan sarjana. Dari segi itu saja sudah jelas terlihat perbedaan mutu seorang guru antara didaerah dengan kota kota besar.

Mahalnya biaya pendidikan


Bila sebagian kota kota besar sudah memberikan fasilitas sekolah gratis hingga sekolah menengah pertama ditambah lagi dengan fasilitas lainnya seperti kartu jakarta pintar sementara di daerah untuk tingkat sekolah dasar saja tidak sanggup menggratiskan. Untuk anda yang membutuhkan biaya pendidikan kami siap membantu anda melalui pinajaman tanpa agunan

Minimnya akan kesadaran untuk pendidikan


Antusias warga yang ada didaerah memang harus kita akui lebih rendah bila dibandingkan dengan kota kota besar. Rasa peduli akan pendidikan yang di kota tidak perlu ditanyakan lagi, pendidikan adalah segalanya, dengan pendidikan mimpi akan terwujudkan.

mungkin itu sekilas penjelas singkat tentang Apa penyebab mutu pendidikan di indonesia dari dulu hingga sekarang tidak merata.  Semoga bermanfaat dan terimakasih.
Read More
UN dan Pemerataan Pendidikan

UN dan Pemerataan Pendidikan

SEBELUMNYA, kabar tentang peniadaan Ujian Nasional (UN) 2017 seperti disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendy pada November 2016 lalu sempat membuat publik gembira. Banyak media yang menjadikan kabar tersebut sebagai headline. Namun, sebelum wacana tersebut terealisasikan, keputusan itu akhirnya terpaksa dibatalkan karena Pemerintah tidak menyetujui UN dimoratorium (dihentikan sementara). Publik (terutama siswa) pun kembali kecewa. Rasa sukacita atas peniadaan UN pun hanya berlangsung sesaat. Keputusan tak berubah. UN tetap dilaksanakan pada 2017, seperti sedang berlansung saat ini.

UN dan Pemerataan Pendidikan


Rutinitas tahunan persiapan UN pun harus kembali berjalan seperti biasa. Persiapan UN layaknya orang yang akan perperang. Doa bersama digelar. Yasinan dimana-mana. Kepala dinas pendidikan sibuk menginstruksikan kepala sekolah agar bisa memastikan siswa bisa lulus 100 persen. Kepala sekolah pun memanggil para guru guna rapat mengatur strategi. Jam belajar di sekolah di tambah. Lembaga-lembaga bimbingan belajar banjir peserta. Siswa belajar siang malam seperti kesurupan. Sesama siswa saling berusaha menguatkan. Berpelukan. Bertangisan. Seolah UN adalah penentu hidup mati. Tidak ada yang salah dengan semua usaha dan doa. Tetapi itu menyiratkan bahwa UN sebegitu menakutkan.

Realitas ketimpangan

Kita paham, bahwa UN dilaksanakan dengan tujuan baik. Diantaranya agar siswa punya semangat belajar tinggi, mendorong penguasaan kompetensi, dapat dipakai sebagai acuan antar provinsi, dan juga menjadi standar acuan pendidikan nasional. Namun sayang, praktik yang terjadi di lapangan masih jauh dari harapan. Sudah jadi rahasia umum, UN adalah adalah satu moment terjadinya praktik kecurangan massal. Jika ada siswa yang tidak ingin berlaku curang, maka ia akan terancam dikucilkan dan dibilang sok suci. Maka ketika UN ingin dipakai sebagai acuan antar provinsi, perbandingan menjadi kurang bermakna ketika kecurangan terjadi. Begitu juga dengan penguasaan kompetensi. Alih-alih menumbuhkan semangat belajar, siswa dan guru malah mementingkan nilai. Akhirnya, guru mengajar hanya untuk tes dan siswa belajar hanya untuk lulus tes.

UN pun seolah berubah bentuk menjadi stres tahunan yang terencana. Jarang kita jumpai siswa yang menyambut UN dengan bahagia. Banyak yang merasa tertekan, lalu mengiringinya dengan doa dan yasinan. Saya percaya, pendidikan bukanlah panci penekanan. Sedikit kelegaan muncul ketika pada 2015 Kemendikbud menetapkan bahwa UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan, tapi juga ikut ditentukan oleh sekolah. Dan harapan itu semakin berbunga ketika Oktober 2016 lalu Kemendikbud sempat memutuskan untuk menghapus UN, walau akhirnya terpaksa dibatalkan karena tidak disetujui pemerintah.

Namun permasalahan pendidikan Indonesia sebenarnya tidak terletak pada UN, tapi soal pemerataan. Ada kesenjangan signifikan antara sekolah di desa dengan perkotaan. Mulai dari kualitas guru, perlengkapan seperti laboratorium dan perpustakaan, infrastruktur, juga akses pendidikan. Kuantitas dan kualitas guru misalnya, di pedesaan satu guru bisa merangkap dan harus menguasai lima mata pelajaran. Beda dengan sekolah di kota, satu pelajaran ada lima guru, bahkan mungkin lebih. Jika di perkotaan guru dibayar jutaan rupiah, maka guru di desa yang kebanyakan tenaga honorer harus berpuas hati dengan hanya dibayar Rp 300 ribu per bulan. Tetapi mereka juga dituntut mempunyai tanggungjawab yang sama untuk bisa mencerdaskan anak bangsa seperti mereka yang dikota.
Begitu juga ketika menyinggung perlengkapan pendidikan. 

Di sekolah pedesaan dan pedalaman, siswa tidak mengenal kotak empat persegi bernama komputer. Bahkan sebagian sekolah, perpustakaan saja tidak punya. Buku menjadi barang langka. Seorang siswa harus menunggu antrian panjang untuk bisa membaca satu buku secara bergiliran. Begitu juga dalam fasilitas gedung sekolah dan meja belajar. Masih ada sekolah yang beratap daun rumbia dan berlantaikan tanah serta meja belajar tua yang tak diganti-ganti. Sekolah tersebut dibangun dengan gotong-royong warga karena tidak ingin anak-anak ikut jejak orangtuanya yang tak pandai membaca. Maka tidak perlu heran jika sekolah di Pulau Belitung di film Laskar Pelangi adalah realitas nyata dari Aceh sampai Papua. Jarang ditemukan murid yang berseragam, memakai sepatu, apalagi yang wangi. Kita harus terbiasa dengan pemandangan murid yang berseragam aneka warna dan tanpa alas kaki.

Perlu pemerataan

Melihat kesenjangan tersebut, maka ketika kita ingin bicara pendidikan Indonesia, berarti bicara Indonesia dari Aceh sampai Papua. Tidak mungkin tanpa melibatkan keduanya. Saya percaya, siswa yang sekolah di pedalaman bukan tidak pintar, hanya saja tidak punya kesempatan yang sama dengan mereka yang di kota. Bukti menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang berprestasi bahkan sampai level internasional. Pada 2011, anak-anak SD dari Papua berhasil menorehkan prestasi dalam ajang Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School. Mereka berhasil mempersembahkan empat emas, lima perak, dan tiga perunggu. Pada tahun yang sama, Siti Fatimah yang berasal dari Sampang, Madura, juga berhasil menyabet juara pertama Olimpiade Sains Nasional (OSN) di Manado.

Jika hari ini ketidakadilan pendidikan sering didengungkan, maka pemerataan kualitas pendidikan menjadi poin penting untuk menyelesaikan akar permasalahan. Mulai dari kualitas guru, perlengkapan, infrastruktur, hingga akses pendidikan. Tidak perlu semua harus jadi sekolah bertaraf internasional ataupun sekolah favorit, tapi setidaknya meminimalkan tingkat kesenjangan. Seperti pemerataan kuantitas dan kualitas guru antara pedesaan dan perkotaan. Termasuk mempertimbangkan kesejahteraan guru di pedalaman dengan menaikkan gajinya yang lebih sepadan. Begitu juga dengan infrastruktur dan akses pendidikan. Tidak semua hal perlu setara, tapi pemerataan harus dilakukan untuk keadilan pendidikan. Memang tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang, tapi semua itu bukan mustahil untuk dilakukan.

Dari itu, publik mengapresiasi upaya Kemendikbud yang hingga 2015 telah merehabilitasi sekitar 13.403 ruang belajar, membangun 698 Unist Sekolah Baru (USB), dan 12.385 Ruang Kelas Baru (RKB). Begitu juga upaya mewujudkan pendidikan dari daerah pinggiran yang di tahun 2016 Kemendikbud telah membangun 114 Sekolah Garis Depan (SGD) di berbagai daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Hal tersebut diperkuat dengan menugaskan 7.000 Guru Garis Depan (GGD) untuk memberikan pelayanan pendidikan yang lebih baik, meningkat sepuluh kali lipat dari tahun sebelumnya sebanyak 797 guru (kemdikbud.go.id).

Upaya pemerataan tersebut adalah awal langkah bagus, tapi tentu saja tidak boleh dicukupkan sampai di titik tersebut. Karena masih ada sekolah di luar sana yang belum tersentuh perbaikan infrastruktur maupun akses pendidikan. Inilah tanggungjawab kita bersama. Tentu saja kita tidak ingin anggaran sebesar Rp 39,82 triliun untuk Kemendikbud dari total dana pendidikan nasional 2017 yang mencapai Rp 416,1 triliun tersebut, tidak teralokasikan dengan baik dan merata. Dari itu saya percaya, gelap-cerahnya masa depan pendidikan Indonesia juga ikut ditentukan ketika banyak orang bersedia mengambil bagian.

* Asmaul Husna, mahasiswi pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dan pegiat di Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU). Email: hasmaul64@yahoo.com
Read More
Pengertian Pendidikan Inklusi

Pengertian Pendidikan Inklusi

SUDUT PENDIDIKAN | Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Pendidikan inklusi adalah : system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Menurut Hildegun Olsen pendidikan inklusi adalah sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat, berbakat. Anakanak jalanan dan pekerja anak berasal dari populasi terpencil atau berpindah-pindah. Anak yang berasal dari populasi etnis minoritas, linguistik, atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termajinalisasi.

Menurut Staub dan Peck pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas. Hal ini menunjukan kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-anak berkelainan, apapun jenis kelainanya.

Menurut Sapon-Shevin pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama temanteman seusianya.

Dari beberapa pengertian tentang pendidikan inklusi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya untuk bersama-sama mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah regular (SD, SMP, SMU, maupun SMK
Sederajat).
Read More
Mengukuhkan Pilar-Pilar Keberagaman dalam Pendidikan Agama Islam

Mengukuhkan Pilar-Pilar Keberagaman dalam Pendidikan Agama Islam

SUDUT PENDIDIKAN | AKHIR-akhir ini, permasalahan keberagamaan yang dikaitkan dengan keberagaman mendapat banyak sorotan dan perhatian pelbagai pihak. 

Ulah segelintir oknum atau sekelompok kecil masyarakat yang mengatasnamakan salah satu agama tertentu terkadang berimbas luas terhadap kondisi keberagamaan yang tenang, toleran, dan berdampingan. 

Ketika hal ini terjadi maka sebutan kata-kata intoleransi, radikalisme, fundamentalisme dan semacamnya sering mengemuka menjadi wacana publik. Intoleransi, radikalisme, dan fundamentalisme keberagamaan di tengah-tengah masyarakat yang beragam terus menjadi tantangan yang menguji keutuhan dan persatuan bangsa, bahkan merembet mengarah kepada penggerusan nilai-nilai kebangsaan. 

mengukuhkan-pilar-pilar-keberagaman-dalam-pendidikan-agama-islam


Di samping pemahaman keberagamaan yang dangkal, penyebaran informasi hoax  (hocus) yang bertubi-tubi di beberapa media secara terus-menerus bisa menjadi provokasi yang memancing perpecahan keberagamaan dan keberagaman. 

Tidak hanya antaragama saling curiga, interagama pun satu sama lainnya bisa menimbulkan pelbagai gejolak hingga konflik yang tidak dapat dihindari.  

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan pelbagai perbedaan agama, kultur, bahasa, maupun ras yang disatukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Perbedaan itu mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya, beragam, pluralistik. Tindakan apa pun yang menciderai ketenangan masyarakat, apalagi atas nama agama sesungguhnya adalah tindakan yang memiskinkan dan mengingkari kodrat keberagaman. 

Dalam skala yang masif, jika hal ini disepelekan akan merongrong tegaknya NKRI. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis harus terus diupayakan semaksimal mungkin untuk menjaga, merawat ataupun meneguhkan keberagamaan dan kebinekaan dengan mengukuhkan pilar-pilar keberagaman. 

Keterlibatan pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah dalam menjaga dan mengukuhkan pilar-pilar keberagamaan adalah sangat signifikan. Sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8/2006, yang menegaskan bahwa gubernur mempunyai tugas memelihara ketertiban dan ketenteraman serta memfasilitasi kerukunan umat beragama; mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal terkait keagamaan untuk menjaga kerukunan umat beragama di daerah; menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan memfasilitasi dan mengoordinasikan pemerintah daerah di bawahnya untuk menjaga harmoni dan menciptakan iklim saling menghargai dan menghormati antarumat beragama. 

Membudayakan pemahaman tentang keberagaman harus intens di lembaga-lembaga pendidikan sejak pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi dalam rangkap menumbuhkan semangat nasionalisme, inklusif, moderat, dan toleransi bagi seluruh masyarakat. 

Pemahaman terhadap empat variabel penting tersebut bahkan tidak hanya dilaksanakan pada satuan-satuan  pendidikan, tetapi juga harus mewarnai semua bidang studi terutama bidang studi yang menjadi penopang pendidikan karakter. Salah satu bidang studi yang harus memperkukuh empat pilar keberagaman tersebut adalah bidang studi Pendidikan Agama Islam. 

Bidang studi Pendidikan Agama Islam merupakan bidang studi yang mengampu tugas dan tanggung jawab dalam pembentukan karakter beragama para peserta didik.
Karakter beragama yang tertanam dan terbentuk melalui pemberian Pendidikan Agama Islam sangat memengaruhi cara bersikap dan berpikir peserta didik terhadap segala bentuk dalam kehidupan beragama, baik secara vertikal maupun horizontal. 

Oleh karena itu, sangat penting bagi bidang studi Pendidikan Agama Islam untuk menanamkan pilar-pilar penting ini, yakni Nasionalisme, Toleransi, Moderat, dan Inklusivisme dalam kehidupan beragama. 


Menanamkan Nasionalisme 


Secara terminologis, nasionalisme bisa jadi merupakan produk baru peradaban modern. Namun hal ini tak berarti Islam bertentangan dengan nilai-nilai nasionalisme. 

Karena secara substansial, nasionalisme adalah kecintaan seseorang terhadap negara sebagai tumpah darahnya. Sebagaimana pula yang disampaikan oleh ulama, cinta terhadap tanah air merupakan bagian dari keimanan (hubbu wathan minal iman). Nabi Muhammad SAW sendiri telah mencontohkan dalam Piagam Madinah (miytsaqul madinah) mengenai wujud nyata sikap cinta tanah air. 

Nabi Muhammad SAW menyebut seluruh penduduk Madinah (baik yang beragama Islam, Kristen, maupun Yahudi), sebagai satu bangsa (ummah wahidah) dan mewajibkan mereka membela Madinah, terutama dari ancaman-ancaman pihak luar. 

Kedua hal di atas menjadi dasar penguatan bahwa bidang studi Pendidikan Agama Islam mempunyai tanggung jawab menanamkan nilai nasionalisme kepada para peserta didik. 

Diharapkan dengan penanaman tersebut, peserta didik memiliki cara berkehidupan beragama yang menjunjung tinggi sikap nasionalisme. 


Mengembangkan Nilai-Nilai Toleransi 


Islam hampir tidak pernah lepas dari toleransi. Pada masa tertentu Islam tampil sebagai sosok yang menoleransi (fa’ilu at-tasamuh), sedangkan pada masa yang lain Islam tampil sebagai pihak yang ditoleransi (maf’ulu at-tasamuh). 

Bidang studi Pendidikan Agama Islam harus mengenalkan adanya beragamnya pandangan dalam berbagai aspek berkehidupan beragama. Sebagai contoh, bidang studi Pendidikan Agama Islam harus mengenalkan bahwa di dalam Islam sendiri terdapat mazhab-mazhab fikih di mana para ulamanya mengajukan pandangan hukum yang berbeda dalam fikih Islam. 

Perbedaan dalam kehidupan beragama juga terdapat pada beragamnya agama-agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia. 

Selain mengenalkan adanya keberagaman dalam berkehidupan beragama, bidang studi Pendidikan Agama Islam juga harus mengajarkan bahwa cara menyikapi keberagaman pandangan dan keyakinan tersebut bukanlah dengan menghujat pandangan dan keyakinan yang berbeda, melainkan dengan cara menunjukkan sikap toleransi dengan tidak memaksakan pemahamannya terhadap orang lain dan tidak merasa pendapat dan keyakinannya ialah yang paling benar. 


Mengukuhkan Sikap Moderat 


Ada salah satu prinsip yang sangat terkenal di kalangan akademisi muslim, yakni khairul umur awsatuha (sikap terbaik dalam segala hal adalah moderatisme). Prinsip ini tidak hanya berlaku di dalam konteks hukum fikih, tetapi juga telah menjadi semangat utama di balik hampir seluruh disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam. 

Bidang studi Pendidikan Agama Islam harus memuat pengajaran-pengajaran yang merujuk pada sikap moderat. Tidak ada paham-paham radikal dan fundamental yang diajarkan dalam bidang studi Pendidikan Agama Islam. 

Untuk mengukuhkan sikap moderat, bidang studi Pendidikan Agama Islam memuat ajaran bahwa ketentuan-ketentuan hukum Islam berada di posisi tengah; antara prinsip kasih yang sampai pada tahap mengampuni para penjahat dan prinsip kejam yang sampai pada tahap tidak mengenal ampunan.

Sebagai contoh, dalam ketentuan hukum Islam korban kejahatan dapat membalas kejahatan yang dilakukan secara setimpal (qishas), tetapi akan lebih baik bila yang bersangkutan memberi ampunan (wa an ta’fu khairun lakum). Prinsip moderatisme seperti di atas harus senantiasa diajarkan dan dikukuhkan oleh bidang studi Pendidikan Agama Islam untuk mencegah masuknya paham radikal dan fundamental dalam pola pikir dan pola sikap peserta didik. 


Menerapkan Inklusivisme 


Islam adalah inklusif, terbuka terhadap nilai-nilai, budaya dan peradaban sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, menjaga eksistensi Islam bukan berarti menutup diri untuk berinteraksi dengan peradaban lain. Peradaban Islam adalah peradaban yang dinamis dan aktif, tidak eksklusif dan menutup diri dari budaya dan peradaban lain. 

Islam sangat memperhatikan inklusivisme sebagai prinsip kehidupan yang sarat dengan perbedaan dan kemajemukan. Itu sebabnya ajaran Islam bersifat universal yang terbuka kepada seluruh umat manusia. 

Sehingga syariat Islam yang berwajah inklusif dapat diterima oleh semua kalangan dan memberi rahmat bagi seluruh isi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Sikap inklusif inilah yang diterapkan dan ditanamkan melalui bidang studi Pendidikan Agama Islam di dalam dunia pendidikan. Selain itu, bidang studi Pendidikan Agama Islam harus menanamkan pula prinsip al muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yakni menjaga dan melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengakomodasi sesuatu yang baru yang lebih baik. Adagium ini ditanamkan oleh bidang studi Pendidikan Agama Islam dalam prinsip tawazun, tasamuh, dan tawasuth. /SINDO: IMAM SAFEI -Direktur PAI Ditjen Pendis Kementerian Agama RI 

Read More